Bagaimana Jika Tidak Ada Lagi Percakapan Secara Langsung?
top of page

Bagaimana Jika Tidak Ada Lagi Percakapan Secara Langsung?


Online Conversation

Kegiatan diskusi menjadi salah satu kegiatan belajar yang memberi ruang bagi para murid berinteraksi. Pada saat interaksi tersebut terjadi, saya merasakan ada semangat baru untuk terus mengajar dan mengenal mereka melalui percakapan yang terjadi. Saya juga percaya, sadar atau tidak para murid pun semakin mengenal diri mereka dan teman kelas pada saat bekerja di dalam kelompok. Oleh karena itu, dalam pembelajaran daring (dalam jaringan) saat ini saya mengusahakan kegiatan diskusi di kelas berlangsung dengan maksimal.


Ketika saya mengadakan kegiatan diskusi dalam kelas daring, saya membagi para murid ke dalam ruang obrolan terpisah (breakout room). Di dalam ruang obrolan tersebut, biasanya dilakukan pembagian tugas sebagai berikut: Seseorang berperan menjadi pemimpin diskusi, seorang yang lain berperan menjadi sekretaris yang mencatat hasil diskusi, dan seorang lainnya bertugas untuk mengingatkan para anggota kelompoknya mengenai waktu diskusi sehingga dapat dipergunakan dengan optimal.


Diskusi seperti ini efektif dilakukan karena para murid dapat langsung berpindah ke ruang obrolan, guru dapat berkunjung ke setiap ruang obrolan, dan ketika waktu diskusi selesai, guru dan para murid kembali ke ruang utama pertemuan. Bisa dikatakan bahwa pelaksanaan diskusi dengan metode ini terarah dan terkontrol dengan baik oleh guru yang sedang mengajar. Sepanjang pelaksanaan kegiatan diskusi, para murid pun antusias memberikan pendapat dan berkontribusi.


Metode diskusi seperti ini sudah biasa saya lakukan bersama dengan para murid dan berjalan dengan baik. Sepanjang pelaksanaan kegiatan diskusi, para murid antusias memberikan pendapat dan berkontribusi. Namun, suatu kali, saya terlibat dalam perdebatan positif dengan salah satu kelompok di kelas yang saya ajar tentang pelaksanaan kegiatan diskusi. Sebut saja Kelompok Harapan. Saya mendapati Kelompok Harapan tidak melakukan kegiatan diskusi seperti yang telah saya instruksikan. Ruang obrolan sangat hening. Akan tetapi, notifikasi pesan teks kelompok terus berbunyi. Setelah saya melakukan dialog bersama dengan pemimpin diskusi dan para anggota kelompok, kesimpulan yang didapatkan adalah kelompok Harapan lebih nyaman melakukan diskusi melalui pesan teks saja. Mereka menolak berbicara secara langsung untuk mendiskusikan tugasnya. Toh, menurut mereka, tujuan dan tugas diskusi akan tetap terselesaikan melalui pesan teks yang dikirimkan.


Hal ini cukup membuat saya khawatir. Kejadian ini tidak terjadi sekali saja, tetapi terjadi secara berulang di hari selanjutnya; tidak hanya dalam Kelompok Harapan tetapi juga dalam beberapa kelompok lainnya, di kelas yang berbeda.


Kejadian ini membawa saya melakukan sebuah refleksi mengenai pertanyaan ini: Budaya komunikasi seperti apa yang sedang membentuk murid-murid ini selama pelaksanaan pembelajaran daring di kelas saya?


Sebuah buku berjudul Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age, ditulis oleh Sherry Turkle (2015), memberikan sebuah cakrawala berpikir mengenai makna percakapan sebagai elemen esensial di dalam hidup seorang manusia dan bagaimana hal tersebut telah banyak dikorbankan di sepanjang era digital saat ini.


Entah karena alasan kebutuhan atau adaptasi terhadap teknologi membuat kita lebih memilih berbicara melalui pesan teks. Menghindari percakapan secara langsung – bertemu muka dengan muka atau berbicara melalui platform yang adaseakan menjadi aktivitas yang membuat kita tidak nyaman mengungkapkan pemikiran kita. Atau jangan-jangan, saat ini kita sedang dibentuk oleh gaya hidup yang tidak mempermasalahkan percakapan dengan sesama segera hilang dari kebiasaan kita.


Apa yang salah dengan hal tersebut?

Tanpa kita sadari, kebiasaan ini membawa kita kepada sebuah masalah besar. Percakapan secara langsung adalah hal yang paling manusiawi – dan memanusiakan – yang kita dapat lakukan sebagai manusia (Turkle, 2015). Percakapan yang kita lakukan secara langsung membawa kita mengalami pengalaman yang sama-sama saling: mendengar dan didengar, berusaha memahami dan dipahami, meningkatkan dan melatih empati, serta membawa kita kepada refleksi pribadi mengenai kehidupan yang dijalani sebagai pengikut Kristus. Jika percakapan secara langsung ini hilang, bahaya yang akan muncul adalah kita cenderung akan menampilkan diri kita sebagaimana yang kita mau; semaunya kita, di dalam perspektif kita.


Apa pengaruhnya terhadap pendidikan?

Seperti yang telah terjadi di kelas diskusi saya sebelumnya. Para murid telah menghilangkan sebuah elemen berdialog secara langsung bersama dengan teman-teman kelasnya. Padahal melalui kegiatan diskusi, bertukar pikiran dan berbicara secara langsung, para murid dapat bertumbuh menjadi pribadi yang mengalami pengalaman sama-sama saling seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


Selain itu, ada satu istilah baru yang muncul di era digital saat ini, yaitu phubbing (phone snubbing). Istilah ini menggambarkan sebuah sikap mengabaikan orang lain yang berinteraksi dengan kita karena perhatian kita tertuju kepada perangkat elektronik kita sendiri. Hal ini pun dilakukan oleh para murid. Bahkan pada saat guru sedang menjelaskan materi pelajaran, para murid dapat dengan mudah, tanpa rasa bersalah mengirimkan pesan teks di ruang obrolan hanya karena ingin melakukannya saja. Bahaya yang sama akan muncul, yaitu lambat laun murid akan menampilkan dirinya sebagaimana yang ia mau, di dalam perspektifnya sendiri.


Lalu, bagaimana menghadapi isu ini?

Saya terinspirasi dari beberapa istilah yang digunakan sebagai gambaran, penjelasan dan hal praktis yang bisa dilakukan, untuk mengembalikan makna percakapan secara langsung di dalam kehidupan sehari-hari di dalam buku Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (Turkle, 2015):


1. Satu Kursi

Ini tentang solitude dan self-reflection. Kita dapat menyediakan satu kursi untuk murid dapat melakukan perenungan dan refleksi pribadi. Kita dapat membantu dengan menyediakan beberapa pertanyaan panduan. Momen satu kursi ini juga dapat kita gunakan sebagai latihan untuk para murid berbicara secara pribadi kepada Tuhan. Memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan berarti ada kesadaran penuh bahwa kita membutuhkan-Nya dan rindu untuk berbicara dengan-Nya. Hal yang ditekankan pada bagian ini adalah kerinduan akan relasi murid dengan Tuhan.


2. Dua Kursi

Jika ada dua kursi yang tersedia dan pembicaraan dilakukan dengan empat mata, maka biasanya topik obrolan mengandung makna kedekatan atau keintiman. Dalam hal ini, kita dapat membantu para murid untuk memiliki waktu terbaik mereka mengobrol dengan orang-orang terdekat, yang selama ini mereka telah banyak menghabiskan waktu bersama, seperti keluarga dan sahabat. Kita dapat melakukannya melalui penugasan formatif atau sumatif yang melibatkan keluarga atau sahabat dekat murid.


3. Tiga Kursi

Ini adalah tempat untuk percakapan bersama dengan guru, teman sebaya, teman kelas ataupun komunitas yang lebih besar. Kita perlu menyediakan tiga kursi bagi para murid untuk mereka dapat berdialog membagikan pemikiran sehingga dapat saling menajamkan dan bertumbuh. Kita dapat melakukannya melalui dialog sehari-hari di kelas, pelaksanaan diskusi secara interaktif dan guru benar-benar harus secara sengaja menyediakan waktu untuk mengajak murid berbicara.


Tentu, keterangan ‘angka’ dan kata ‘kursi’ dalam hal ini dapat bermakna harfiah atau simbolis, tergantung pada konteks kelas kita masing-masing. Kita dapat memaksimalkan pelaksanaannya secara makna simbolis seperti yang telah dijelaskan di atas dalam konteks kelas daring. Sebagai guru yang membawa pengajaran di dalam kelas, kita berperan menyediakan ruang percakapan secara langsung itu kepada para murid.

Pada akhirnya, saya mengajak kita untuk merenungkan hal ini: Panggilan sebagai guru Kristen adalah membawa para murid menghidupi kehidupan kristiani, termasuk di dalam percakapan yang dilakukan sehari-hari.


Referensi:

Turkle, S. (2015). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age. New York: Penguin Press.




Penulis:

Agnes Jumarta Gulo, Guru Bahasa Indonesia dan Lead Teacher di SDH Holland Village, Manado.

bottom of page